HIKIKOMORI
Hikikomori, ketika kita mendengar kata ini apa yang terlintas dalam pikiran kita? Otaku? Anime? Manga? Game? Cupu? atau bahkan orang yang tidak pernah keluar dari kamar? Jika memang seperti itu memang benar adanya, Hikikomori dalam pengertian modern bisa disebut dengan orang yang tidak pernah keluar kamar karena dia sangat menyukai hobby-nya. Akan tetapi apa kita tahu sejarah dari Hikikomori sendiri? Bagaimana asal penamaan Hikikomori berasal? dan siapa yang memberikan nama itu? kali ini baka otaku akan mengupas tentang "Hikikomori" sejelas-jelasnya, jadi siapkan diri kalian untuk bosan membaca postingan kali ini, karena jujur saya sendiri juga bosan membaca beberapa artikel dari website atau blog yang intinya sama semua, dan pada akhirnya saya harus menulis ulang dan merangkum hasil skripsi orang tentang Hikikomori ini, bahkan sempat beberapa kali malas untuk menulis. Tapi sedikit demi sedikit akhirnya selesai juga (walaupun belum 100% selesai sih). Selamat membaba, dan semoga bermanfaat ^^
Apa Itu Hikikomori?
Hikikomori (ひきこもり atau 引き 籠 もり, Hikikomori?, Secara harfiah berarti “menarik diri, menjadi terbatas”, yaitu “penarikan sosial akut”) adalah istilah Jepang untuk merujuk pada fenomena orang-orang penyendiri yang telah memilih untuk menarik diri dari kehidupan sosial, sering mencari derajat ekstrem isolasi dan pengurungan karena faktor pribadi dan sosial dalam kehidupan mereka. The hikikomori merujuk kepada kedua fenomena sosiologis pada umumnya serta kepada orang-orang yang termasuk kelompok masyarakat ini. Dalam terminologi Barat grup ini mungkin termasuk orang yang menderita fobia sosial atau masalah kecemasan sosial. Ini juga bisa disebabkan oleh agorafobia, gangguan kepribadian avoidant atau menyakitkan atau rasa malu ekstrim. Ada juga Hikikimori yang mungkin memilih gaya hidup ini semata karena alasan budaya.
Hikikomori (ひきこもり atau 引き 籠 もり, Hikikomori?, Secara harfiah berarti “menarik diri, menjadi terbatas”, yaitu “penarikan sosial akut”) adalah istilah Jepang untuk merujuk pada fenomena orang-orang penyendiri yang telah memilih untuk menarik diri dari kehidupan sosial, sering mencari derajat ekstrem isolasi dan pengurungan karena faktor pribadi dan sosial dalam kehidupan mereka. The hikikomori merujuk kepada kedua fenomena sosiologis pada umumnya serta kepada orang-orang yang termasuk kelompok masyarakat ini. Dalam terminologi Barat grup ini mungkin termasuk orang yang menderita fobia sosial atau masalah kecemasan sosial. Ini juga bisa disebabkan oleh agorafobia, gangguan kepribadian avoidant atau menyakitkan atau rasa malu ekstrim. Ada juga Hikikimori yang mungkin memilih gaya hidup ini semata karena alasan budaya.
Sejarah Penamaan "Hikikomori"
Sebenarnya hikikomori telah mencuat menjadi isu hangat yang dibahas besar-besaran baik oleh media masa maupun akademisi, pada tahun 2000-an. Namun, sebenarnya kalau kita mau menelusuri lebih lanjut, sebenarnya fenomena hikikomori sendiri sudah ada sejak lama, yaitu sejak tahum 1980-an. Pada pertengahan 80-an, seorang pria muda yang lesu dan pendiam, muncul didepan kantor Dr. Tamaki Saito, di Rumah sakit Sofukai Sasaki, Chiba. Pemuda itu mengaku telah menghabiskan sebagian besar hari-harinya hanya dengan hanya dengan berada di kamar tidurnya saja. Saitu yang saat itu tidak mempunyai nama untuk kasus seperti ini, pada mulanya mediagnosa hal tersebut sebagai salah satu jenis penyakit dari kelainan jiwa, depresi, atau schizophrenia. Tetapi setelah ia merawat banyak orang yang mengalami masalah yang sama, akhirnya pada tahun 1998 ia memberi nama hikikomori untuk masalah yang dimaksud. Saito merupakan orang pertama yang menciptakan istilah Hikikomori sebagai nama untuk fenomena "penarikan diri dari lingkungan masyarakat" yang terjadi di jepang.
Bukti lain yang menunjukan bahwa hikikomori bukanlah fenomena baru adalah hasil survey tentang hikikomori yang diselenggarakan di perfektur Oita oleh Hiroko Okuma dari Oita Mental Health Welfare Centre pada tahun 2002, dan di Saitama oleh Takahashi Takahata. Dari penelitian di Oita didapatkan bahwa 4% dari pelaku Hikikomori telah melakukan Hikikomori selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan dari penelitian di Saitama pada tahun 2001, terungkap bahwa 14,2% kasus sudah terjadi selama lebih dari 10 tahun. Dari data di atas dapat dilihat bahwa Hikikomori sebenarnya bukanlah fenomena baru melainkan hal yang sudah ada sejak dulu. Mengapa Hikikomori baru mencuat menjadi tajuk utama yang dibahas besar-besaran sekarang, tidak karena semakin menyebar dan meluasnya masalah Hikikomori. Selain itu, pemberitaan media yang besar-besaran dan cenderung melebih-lebihkan terhadap kekerasan dan kejahatan yang dilakukan sebagian pelaku Hikikomori diduga juga turut menyebarkan pemahaman publik Jepang mengenai masalah Hikikomori.
Akhir-akhir ini hikikomori menjadi masalah sosial yang cukup besar dan menyita perhatian di jepang. Istilah Hikikomori yang diterjemahkan sebagai penarikan diri dari lingkungan sosial, menurut penulis novel kenamaan jepang Ryu Murakami(2000), mengacu pada keadaan tanpa norma yang berkembang di kalangan anak muda jepang yang mengalami "kegagalan" baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, maupun dalam hubungan dengan orang lain. Alasan ini, mengunci diri dalam kamarnya dan menolak kontak sosial sekecil apapun dengan dunia luar. Rasa curiga yang berlebihan, sikap tak percaya, dan budaya anti sosial mendominasi sebagian besar pelaku hikikomori. Menurut Murakami sendiri, pelaku Hikikomori sebelumnya adalah orang-orang yang sering berpenampilan tidak bahagia, kehilangan kawan, merasa tidak aman, malu, dan suka berdiam diri.
Yuji Oniki (2000), menjelaskan bahwa pelaku hikikomori umumnya hidup seperti binatang nocturnal, yaitu tidur di siang hari dan melakukan aktivitas di malam hari. Biasanya pelaku Hikikomori menghabiskan siang hari mereka dengan tidur-tiduran saja, kemudian bangun di sore hari dan tetap terjaga sampai larut malam bahkan sampai menjelang fajar. Di malam hari barulah mereka melakukan aktifitas-aktifitas yang tentunya tidak mengharuskan mereka keluar kamar, dan melakukan kontak langsung dengan orang atau dunia luar. Hal ini dapat mereka lakukan karena sebagian besar dari mereka memiliki fasilitas hiburan dalam kamar, seperti computer, tv, ponsel, dvd player, komik, dan sarana hiburan lainnya. MenurutMurakami juga, orang tua yang memfasilitasi pelaku hikikomori dengan sarana dan prasarana yang bisa meminimalkan komunikasi langsung antar individu, secara tidak langsung juga turut memfasilitasi anak-anak mereka untuk terus melanjutkan hidup dalam "isolasi diri" bahkan hingga waktu yang sangat lama. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data yang menyatakan bahwa ada pelaku hikikomori yang melakukan "Penarikan diri" hingga tahunan bahkan puluhan tahun.
Meskipun pelaku hikikomori diasumsikan sebagai orang-orang yang mengurung diri dalam kamar dan tidak meninggalkan kamarnya, pada kenyataannya justru banyak pelaku hikikomori yang keluar dari rumah maupun kamarnya. Mereka keluar kamar atau rumah biasanya pergi ke konbini, mini market yang buka 24 jam, sekali sehari atau sekali dalam seminggu. DiKonbini, pelaku Hikikomori bisa mendapatkan sarapan, makan siang, sekaligus makan malam, yang dikemas dalam bentuk bento take-away praktis, sehingga mereka yang tidak tinggal dengan orangtuannya tidak harus bersusah payah untuk mendapatkan makanan. Untuk pelaku hikikomori, konbini adalah fasilitas publik yang sangat menunjang "penarikan diri" mereka. Hal ini karena konbini tetap buka pada malam dan dini hari. Pelaku hikikomori cenderung memilih pergi ke konbinipada waktu tengah malam atau dini hari, karena pada waktu-waktu seperti itu, mereka tidak akan bertemu dengan banyak orang dijalan maupun di konbini. Mereka juga pergi ke konbini karena belanja disana tidak memerlukan komunikasi dengan siapapun. Karena dengan kasir yang tidak banyak bicara, pelaku hikikomori pun tidak harus bersusah payah memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Mereka cukup masuk dan memilih barang yang ingin dibelu, lalu ke kasir dan membayar tanpa berbicara sedikitpun. Dengan begini pelaku hikikomori dapat terus melakukan perannya sebagai bagian yang tida terlihat dari masyarakat jepang.
Tidak ada statistik resmi mengenai berapa sebenarnya jumlah pelaku Hikikomori dijepang, namun diperkirakan lebih dari 1juta anak muda jepang sekarang ini menderita penyakit sosial tersebut. Sebagai masalah sosial yang banyak dibahas dan diteliti, tidaklah mengherankan apabila terdapat banyak penjelasan mengenai apa itu Hikikomori. Berikut ini akan dijelaskan lima konsep Hikikomori.
Menuru psikolog jepang Ushio Isobe, Hikikomori adalah seseorang yang mengurung diri selama lebih enam bulan di rumah dan membatasi kebutuhan mereka. pada apa yang mereka pikir mereka butuhkan dan tidak ("scelude themselves for more than six months at home, limit the number of things which the need or they think they need"). Isobe menjelaskan bahwa tidak ada kosakata hikikomori dalam kamus bahasa jepang, yang ada adalah kata Hikikomoru yang berarti menarik dan menutup diri. Ia juga menambahkan, bahwa dalam dunia kejiwaan, masalah Hikikomori dikenal dengan nama "isolasi sosial" atau "isolasi tanpa penyakit kejiwaan".
Senada dengan Isobe, psikiater jepang Tamaki Saito, juga mengemukakan Hikikomori sebagai keadaan seseorang mengurung diri dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial lebih enam bulan. Kegiatan sosial disini dapat berarti tidak pergi ke sekolah, tidak bekerja, dan tidak memiliki hubungan yang akrab dengan orang lain selain keluarganya sendiri, serta kelainan jiwa atau masalah kejiwaan bukanlah penyebab utama dari masalah ini. ("hikikomori is a condition of seclusion where there is no social participation and it last at least six months, social participation is defined as attending school, going to work or sustaining close relationship with people from outside of the person's family.
..... There is no possibility that mental disease is the major reason for the problem")
Tatsushi Ogino, mengkonsepkan Hikikomori sebagai orang-orang yang secara khusus menarik diri dari sebagaian besar aktivitas sosial dan mundur ke dalam kehidupan atau ruang pribadi mereka untuk waktu yang lama, bahkan keluarganya pun sulit mengerti alasan mengapa yang bersangkutan melakukan Hikikomori. ("people who typically withdraw from most social activities and retreat into their living spaces or rooms for a long time, though their family cannot understand the reason")
Naoki Ogi, ketua dari LSM swasta Centre for Clinical Research on School Development mendefinisikan Hikikomori sebagai keadaan dimana seseorang yang berusia 15 tahun atau lebih, menarik diri dari lingkungan sosial ke dalam lingkungan keluarganya. Berada dirumah untuk jangka waktu lebih dari enam bulan dan penarikan dirinya ini bukan karena alasan penyakit kejiwaan, serta tidak mampu berpatisipasi dalam kegiatan sosial. ("situation in which people age 15 or older withdraw to their parents' homes for periods of more than six month due to reason other than mental disorders, and are unable to participate in social activities")
Konsep terakhir mengenai hikikomori diambil dari penjelasan Kementrian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang. KKBKJ menjelaskan bahwa Hikikomori mengacu pada keadaan orang-orang mengurung dirinya dalam rumah selama lebih dari enam bulan, tidak mampu atau tidak mau berinteraksi dengan warga masyarakat yang lainnya dengan tidak bersekolah atau bekerja. ("people who seclude themselves in houses, can not or do not want to interact with society through atten. didn't school or working, and is a condition that lasts more than six months"). Menurut KKBKJ konsep ini tidak berlaku untuk penderita schizophrenia atau orang-otang yang memiliki penyakit kejiwaan lainnya. Kementrian, sama dengan Isobe, Ogi dan Saito membatasi isolasi sosial yang bisa disebut sebagai Hikikomori dengan menetapkan jangka waktunya, yaitu apabila penarikan diri tersebut sudah berlangsung lebih dari enam bulan. Mereka juga sama-sama menyatakan bahwa penyebab utama Hikikomori bukanlah penyakit kejiwaan.
Faktor Penyebab Hikikomori
Dalam skripsi yang saya baca dan dari beberapa website dan blog-blog saya dapat menyimpulkan bahwa faktor penyebab utama Hikikomori ada tiga faktor yaitu :
- Masyarakat : Lemah dalam berkomunikasi / berhubungan dengan orang lain, perasaan tidak nyaman, masalah dalam dunia pekerjaan, tekanan masyarakat, rasa malu, kemapanan / kurangnya motivasi, dan keadaan masyarakat Jepang secara umum.
- Pendidikan : Ijime, tekanan pendidikan di sekolah, gagal dalam ujian sekolah, dan sistem pendidikan Jepang secara umum.
- Keluarga : Tekanan kepada anak laki-laki, tekanan orangtua berkaitan dengan dunia pendidikan, ketergantungan, kurang komunikasi, kurangnya figur ayah, kyoiku mama, dan keadaan keluarga jepang secara umum.
Hikikomori dan Karakteristik Kebudayaan Jepang
Banyak kasus hikikomori yang terjadi dijepang menyebabkan munculnya pertanyaan mengenai faktor apa sebenarnya yang ada dalam masyarakat jepang, yang menyebabkan penarikan diri seperti hikikomori sangat eksis dibandingkan di negara lain. Jurnalis AmerikaPhill Rees misalnya, dalam artikelnya yang berjudul The Mystery of a Milion, Rees mengemukakan keheranannya atas begitu banyak anak muda Jepang yang memutuskan untuk menarik diri dari masyarakat. Rees menyatakan bahwa sangat sulit baginya untuk dapat memahami mengapa masalah Hikikomori sangat digemari anak muda Jepang. Ia mengatakan hal ini karena menurutnya Hikikomori adalah masalah sosial yang ada hanya di masyarakat Jepang, sehingga untuk mereka yang ingin memahami lebih dalam Hikikomori, terlebih dahulu harus memahami karakteristik kebudayaan Jepang.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dengan rees juga diungkapkan oleh Benjamin Secher dalam artikelnya yang berjudul Solitary Soul : Out of Sight, not Out of Mind. Dalam atikel tersebut, Secher mengungkapkan bahwa perilaku kebanyakan Individu yang terwujud dalam pola yang hampir sama, pada dasarnya berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Sehingga, dengan menimbang pada begitu menyebar dan banyaknya jumlah kasus Hikikomori yang terjadi di Jepang, sangat mungkin perliaku anti-sosial ini mendapat pengaruh dari karakteristik kebudayaan masyarakat jepang.
Pendapat yang mengemukakan kerkaitan karakteristik kebudayaan jepang dengan eksisnya perilaku Hikikomori dalam masyarakat jepang juga diungkapkan oleh Sadatsugu Kudo, Dorota Krysinska, Michaael Dziensinski, dan Ron Adams. Kudo menyatakan keterkaitan antara hikikomori dengan karakteristik kebudayaan jepang melalui konsep pentingnya rasa malu dalam masyarakat jepang. Sementara itu Zielenzigger, Krysinska, dan Adams berpendapat bahwa Hikikomori mendapat pengaruh dari konsep pengendalian masalah dalam masyarakat.
Menurut Kudo, pentingnya rasa malu dalam masyarakat Jepang dapat mengarahkan individu-individu yang gagal kepada perilaku penarikan diri. Kudo mengatakan bahwa siapapun tidak dapat menunjukan alasan yang tepat mengapa Hikikomori terjadi begitu menyebar di Jepang, tetapi, dengan memahami konteks bahwa hal ini terjadi dalam masyarakat jepang, dapatlah dipahami bahwa sedikit banyak karakteristik kebudayaan masyarakat Jepang telah mempengaruhi kemunculan Hikikomori. Menurut Kudo, masyarakat Jepang yang sangat mementingkan keseragaman mengharapkan setiap individu untuk setidaknya tidak "berdiri" diluar lingkungan atau berbeda dengan yang lainnya. Sehingga saat seseorang gagal untuk menjadi sama seperti masyarakat kebanyakan ia akan merasa berbeda kemudian malu. Menurut Kudo, individu yang merasa malu akan mengambil jalan menyelamatkan diri dengan cara menghilang atau menarik diri.
Pendapat Kudo yang menyatakan bahwa pentingnya rasa malu dalam masyarakat jepang dapat mendorong individu yang mengalami kegagalan kepada perilaku penarikan diri, dapat dibuktikan dari pendapat beberapa ahli dan Jurnalis yang mengatakan bahwa penyebab seseorang melakukan Hikikomori adalah kegagalan dalam kehidupan pelaku Hikikomori sebelumnya. Beberapa ahli dan jurnalis, dalam buku dan artikel yang mereka tulis menyatakan bahwa banyak pelaku Hikikomori yang sebelum memutuskan menarik diri adalah orang-orang yang mengalami kegagalan baik dalam bidang pendidikan, hubungan dengan lawan jenis, maupun dalam usaha untuk mendapatkan pekerjaan.
Berbeda dengan Kudo, Dorota Krysinska, mengemukakan bahwa pilihan anak muda Jepang untuk melakukan Hikikomori terkait erat dengan konsep penyelesaian masalah (conflict management) dalam masyarakat Jepang. Krysinska yang mengacu pada pendapat Eisenstadt tentang konsep pengendalian masalah di masyarakat jepang, menyatakan bahwa dalam menghadapi masalah, individu-individu di jepang seringkali memilih cara menarik diri.
Eisenstadt mengemukakan bahwa kepentingan untuk menjaga harmoni sangat berperan dalam konsep pengendalian masalah (conflict management) di masyarakat Jepang. Dalam bukunya yang berjudul patterns of Conflict and Conflict Resolution in Japan. Eisenstadt mengemukakan bahwa dalam masyarakat Jepang, konflik cenderung di sangkal keberadaannya untuk menjaga kesatuan kelompok. Sehingga seringkali dalam menghadapi suatu masalah individu memilih mengambil jalan untuk memisahkan diri untuk menjaga keutuhan kelompok. Menurut Krysinska, anak-anak muda Jepang mengalami masalah dalam dunia pendidikan, keluarga, ataupun pekerjaan memeilih untuk menarik diri karena tidak "diizinkan" untuk menunjukan semua masalah yang dihadapinya agar keharmonisan dalam keluarga dan skala yang lebih besar lagi masyarakat tetap terjaga.
Senada dengan Krysinska, M. Zielenzigger juga mengemukakan bahwa pilihan anak muda Jepang untuk melakukan Hikikomori mendapat pengaruh dari konsep pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang. Menurutnya, anak-anak muda di berbagai belahan dunia juga melakukan perilaku anti sosial yang disebabkan oleh kemarahan, depresi, dan beratnya masalah yang mereka hadapi, sama seperti adanak-anak muda di Jepang. Namun, tampaknya perilaku penarikan diri bukanlah salah satu pilihan yang "digemari" di negara-negara lainn selain Jepang. Anak-anak muda jepang cenderung untuk mengambil jalan memisahkan diri untuk menghindari konflik terbuka. Zielenzigger berpendapat bahwa kecenderungan seperti di atas dapat dipahami melalui penjelasan Lebra mengenai tipe pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang.
Dalam bukunya yang berjudul Nonconfrontational Strategies for Management of Interpersonal Conflict, Lebra juga mengatakan bahwa kepentingan untuk menjaga harmoni sangan berpengaruh dalam proses penyelesaian masalah dalam masyarakat Jepang. Menurut Lebra, dalam menghadapi masalah, masyarakat Jepang cenderung menghindari konfrontasi. Hal ini bukan karena masyarakat Jepang tidak mau mengambil resiko tetapi untuk mempertahankan harmoni dengan semua pihak, cara-cara yang mendorong keharmonisan harus didahulukan. Dalam buku tersebut, Lebra juga menjelaskan beberapa tipe pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang, dan salah satunya adalah komunikasi negatif (negative communication). Menurut Lebra, pihak yang mengalami masalah cenderung mengekspresikan perasaannya dengan melakukan komunikasi negatif atau tidak berkomunikasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya konfrontasi. Sehingga menurut Lebra, pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang tidak berarti "pemecahan masalah" (conflict resolution) tapi "penghindaran masalah" (conflict avoidance) yaitu dengan cara tidak berkomunikasi. Menurut Zielenzigger anak-anak muda Jepang tidak memiliki pilihan untuk melakukan hal-hal yang memancing lahirnya konflik terbuka seperti yang dilakukan anak-anak muda di Amerika. Anak muda Jepang lebih memilih untuk menghindari konflik terbuka sehingga cenderung mengambil bentuk isolasi sebagai wujud ketidakmampuan mereka menghadapi masalah yang membelenggu mereka.
Selain Krysinska dan Zielenzigger, Ron Adams juga mengemukakan pendapatnya mengenai kaitan antara Hikikomori dengan konsep pengendalian masalah dalam masyarakat Jepang. Dalam menjelaskan pemikirannya ini Adams merujuk pada pendapat Long Mengenai konsep pengendalian masalah di masyarakat Jepang. Dalam bukunya yang berjudul Nurturing and Femininity: the Ideal of Caregiving in Postwar Japan, Long menjelaskan bahwa demi mencapai keharmonisan, masyarakat Jepang cenderung mengendaliak masalah dengan cara menghindarinya. Untuk memperjelas konsep ini, Longmemberi contoh tentang seorang ibu yang mengerjakan semua hal tanpa dibantu oleh anggota keluarga yang lainnya untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya. Ia merawat anak, suami, orangtua dan mengurus rumah sendirian tanpa menggerutu dan meminta bantuan dari anggota kelu`rga yang lainnya.
"This woman saw her role as family caregiver, meeting the needs of her daughter for quiet study time, her husband for rest at home, and her mother-in-law for supervision. Performing her role maintained the peace of the household. Despite her own exhaustion, this woman would not confront any of them with her own problems or consider asking them to compromise their needs to hel her"
Artinya :
"Wanita ini memahami perannya sebagai perawat bagi seluruh anggota keluarga ia memenuhi kebutuhan anak perempuannya untuk belajar semmaksimal mungkin mengurus rumah untuk suaminya, dan merawat mertuanya. Menjalankan perannya akan menjaga ketenraman rumah tangganya walaupun ia sendiri sangat kelelahan. Wanita ini tidak bisa menghadapi anggota keluarganya yang lain dengan masalahnya sendiri atau mempertimbangkan untuk meminta bantuan dari mereka".
Dalam merawat anak, ibu harus menghindari kemarahan dan konfrontasi karena hal ini diyakini sebagai hal yang berlawanan dengan cara merawat yang baik. Walaupun lelah merawat dan mengurus seluruh keluarga ia tidak bisa meminta bantuan dari siapapun karena hal ini dapat mengacaukan keharmonisan rumah tangganya. Long menekankan pentingnya mempertahankan harmoni dalam hubungan antara individu dan juga menyatakan bahwa kemarahan yang muncul dari sebuah masalah adalah hal yang akan mengacaukan harmoni. Karena itu, cara menghindari konfrontasi dalam mengahadapi masalah adalah sebuah jalan untuk mempertahankan harmoni. Untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat, individu yang mengalami masalah tidak “diizinkan” untuk melampiaskan dalam cara yang dapat merusak tatanan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan masalah Hikikomori, Adams menjelaskan bahwa untuk tetap mempertahankan harmoni dengan semua pihak, individu yang memiliki masalah karena tidak mampu memenuhi harapan serta perintah masyarakat, keluarga, ataupun sekolah, tidak memiliki pilihan lain selain memendan sendiri masalah mereka. Hal ini agak berbeda jika dibandingkan dengan individu di negara Barat seperti Amerika misalnya, anak muda di Amerika lebih populer mengungkapkan masalah yang mereka miliki dengan melakukan tindak kejahatan di jalanan, mencuri, merampok, terlibat peredaran narkoba, tawuran antar geng dan “tindakan aktif” yang negatif lainnya daripada hanya mengurung diri di rumah. Adams mengemukakan bahwa dalam pergumulan anak-anak muda Jepang dengan masalah mereka, kepentingan untuk mempertahankan harmoni telah mendasari mereka untuk melakukan Hikikomori daripada perilaku kenakalan atau kejahatan lainnya.
Menggambarkan kembali Batasan-batasan untuk Klasifikasi Hikikomori
Dalam bukunya, Hey Hikikomori! It’s Time, Let's Go Out, Kudo mengelompokkan hikikomori ke dalam empat kategori dasar:
Dalam bukunya, Hey Hikikomori! It’s Time, Let's Go Out, Kudo mengelompokkan hikikomori ke dalam empat kategori dasar:
1. Pencari Kesenangan (disebut juga sebagai delinquents)
2. Orang yang malas (seseorang yang tidak suka pergi sekolah)
3. Komori (seseorang yang selalu merasa khawatir jika orang lain melihatnya, dan ingin keluar dari situasi tidak menyenangkan tersebut tapi tidak bisa). [Mirip dengan taijin kyofusho dan agorafobia].
4. Kasus-Kasus Khusus (Seseorang yang berhenti sekolah karena bermasalah dengan kekerasan, teman, guru, karena tidak menyukai sesuatu seperti belajar atau matapelajaran tertentu, atau mereka merasa rendah diri karena kedua orangtuanya berpisah atau bercerai)
Untuk melengkapi klasifikasi Kudo tersebut, ditambahakan klasifikasi sebagai berikut:
5. Penyakit Mental (seseorang yang tidak bisa berfungsi secara semestinya tanpa pengobatan dan bahkan mungkin tidak memiliki kemampuan kognitif untuk menghadapi dunia luar saat sakit).
6. Pelaku Kekerasan (Seseorang yang berperilaku merugikan keluarga maupun dirinya sendiri seperti ‘hikikomori wrist cutters’ yang memotongi tubuhnya sendiri.)
2. Orang yang malas (seseorang yang tidak suka pergi sekolah)
3. Komori (seseorang yang selalu merasa khawatir jika orang lain melihatnya, dan ingin keluar dari situasi tidak menyenangkan tersebut tapi tidak bisa). [Mirip dengan taijin kyofusho dan agorafobia].
4. Kasus-Kasus Khusus (Seseorang yang berhenti sekolah karena bermasalah dengan kekerasan, teman, guru, karena tidak menyukai sesuatu seperti belajar atau matapelajaran tertentu, atau mereka merasa rendah diri karena kedua orangtuanya berpisah atau bercerai)
Untuk melengkapi klasifikasi Kudo tersebut, ditambahakan klasifikasi sebagai berikut:
5. Penyakit Mental (seseorang yang tidak bisa berfungsi secara semestinya tanpa pengobatan dan bahkan mungkin tidak memiliki kemampuan kognitif untuk menghadapi dunia luar saat sakit).
6. Pelaku Kekerasan (Seseorang yang berperilaku merugikan keluarga maupun dirinya sendiri seperti ‘hikikomori wrist cutters’ yang memotongi tubuhnya sendiri.)
Kasus-kasus yang Mengatasnamakan Hikikomori dan Stigma yang Berkembang.
- Tsumoto Miyazaki, Miyazaki membunuh empat orang anak perempuan berusia empat tahun pada tahun 1988 dan 1989, setelah sebelumnya menculik dan mencabuli mereka.- Pembajakan sebuah bus di perfektur Saga pada tahun 2000 yang dilakukan oleh pelaku Hikikomori berusia 17 tahun dan menewaskan satu orang penumpang.- Pembunuhan dengan menggunakan tongkat baseball yang dilakukan seorang anak berusia 17 tahun terhadap temannya di klub baseball.- Pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang ibu oleh anaknya karena si ibu tidak mau memberinya uang.- Pemberitaan mengenai seorang anak laki-laki berumur 27 tahun yang menculik seorang anak berumur 9 tahun dan menyekapnya dikamarnya selama hampir 10 tahun.- Dan yang paling menghebohkan adalah pembunuhan 8 orang anak TK oleh pelaku Hikikomori bernama Mamoru Takuma.
Phil Rees, dalam artikelnya The Missing Million, juga menceritakan beberapa keluarga yang anaknya melakukan Hikikomori, akhirnya terpaksa tidur di garasi atau hotel untuk menghindari perilaku kekerasan yang dilakukan anak mereka. Salah satunya adalah keluarga Masayuki. Masayuki dan istrinya memutuskan keluar dari rumahnya dan menyewa hotel karena takut pada anak mereka (Yoichi) yang semakin hari semakin kasar. Yoichi mulai melakukan Hikikomori sejak usia 15 tahun. Sejak Yoichi melakukan Hikikomori, ia mulai bertindak kasar pada ibu dan ayahnya. Seringkali tanpa pemicu yang jelas, Yoichi menganiaya ibunya dengan cara menendang, memukul, bahkan hingga menusuk. Karena insiden penusukan istrinya, Masayuki akhirnya memutuskan keluar dari rumah dan tinggal di hotel. Sejak saat itu apabila keluar hotel,Masayuki selalu membawa "pepper spray" (semprotan lada) untuk berjaga-jaga apabila suatu saat anaknya muncul dan berniat menyerangnya.
Dan pemberitaan media atas beberapa kasus tersebut menjadi rangsangan sosial bagi terbentuknya pemahaman publik Jepang terhadap Hikikomori dan para pelakunya. Menurut beberapa ahli, insiden-insiden kekerasan dan kejahatan yang dilakukan pelaku hikikomori di atas, diberitakan berbag`i media dengan cara penulisan yang sangat berlebihan dan cenderung memojokan keseluruhan pelaku Hikikomori. Padahal pada kenyataannya insiden-insiden ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil pelaku Hikikomori, yaitu mereka yang menderita penyakit kejiwaan dan bukan pelaku yang sehat keadaan jiwanya. Menurut Futagami, selain terlalu berlebihan, pemberitaan media juga melwatkan informasi yang penting, yaitu bahwa insiden ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil pelaku Hikikomori yang memiliki kelainan jiwa, sedangkan kenyataan sebenarnya adalah : Mayoritas pelaku Hikikomori tidak memiliki riwayat penyakit jiwa. Bahkan menurut Futagami, sebenarnya cenderung agak aneh apabila pelaku Hikikomori dapat melakukan kejahatan dan kekerasan. Menurutnya, pelaku Hikikomori adalah orang-orang yang penuh dengan rasa takut, rasa tidak bersemangat, lesu dan pasif. Kurang bijaknya media dalam cara penyampaian berita-berita tersebut, disinyalir menjadi penyebab terbentuknya sikap negatif. masyarakat Jepang terhadap pelaku Hikikomori, Sikap negatif ini selanjutnya menghambat para pelaku dan keluarga untuk mencari pertolongan.
Pengaruh Stigma
Pemberitaan media mengenai beberapa insiden sadis dan mengerikan yang dilakukan para pelaku Hikikomori menjadi rangsangan yang menyebabkan timbulnya sikap negatif, atau sikap tidak suka dari publik Jepang terhadap pelaku penarikan diri tersebut.
Berkembangnya stigma terhadap pelaku Hikikomori telah memberi dampak negatif pada sikap publik Jepang terhadap Hikikomori maupun usaha penanggulangan masalah Hikikomori yang dilaksanakan pemerintah. Hal ini karena stigma terhadap Hikikomori telah memberikan landasan kognitif (pemahaman) bagi terbentuknya sikap negatif publik Jepang terhadap para pelaku Hikikomori. Selanjutnya sikap negatif publik membuat usaha penanggulangan masalah Hikikomori terhambat karena para pelaku dan keluarga merasa enggan untuk mencari pertolongan ke luar karena malu apabila tetangga mereka mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Jonathan Watts, dalam artikelnya yang berjudul Japan's teen hermits spread fear mengemukakan bahwa, akibat berkembangnya stigma Hikikomori sebagai perilaku yang erat kaitannya dengan kekerasan dan kejahatan, berkembang pula pendapat negatif terhadap para pelaku Hikikomori. Pendapat tersebut seperti yang dikekumakan Watts dibawah ini :
"...they have lived a hermit-like exisence that has turned them into a violent tyrant..."
artinya :
"...mereka (pelaku Hikikomori) menjalani kehidupan layaknya seorang pertapa, yang akhirnya mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang kejam dan penuh dengan kekerasan..."
Selain Watts, beberapa jurnalis dan para ahli juga mengemukakan pendapat publik Jepang berkaitan dengan stigma terhadap pelaku Hikikomori, diantaranya seperti yang tertulis dibawah ini :
"Hikikomori sufferes shut themselves off from siblings and friends, even parents, whom they sometimes attack in violent autbursts... Hikikomori's frustration is the leading cause of domestic violence in Japan.""I thought a more accurate translation of hikikomori was "violent solitude"""These social isolates also account for much of the domestic violence in Japan, because frustrated, isolated men beat up their parents""Socially withdrawn people long for interaction but are too afrain to venture out, leading many to vent their frustrations through violence at home"
Dari pendapat di atas diketahui adanya pengaruh stigma terhadap berkembangnya sikap negatif publik Jepang terhadap Hikikomori. Publik Jepang cenderung menilai Hikikomori sebagai perilaku negatif yang dapat mengarahkan seseorang pada tindak kejahatan dan kekerasan. Berkembangnya pendapat negatif ini menunjukan adanya pengaruh negatif dari kurang bijaknya pemberitaan media mengenai insiden kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh sebagian pelaku Hikikomori.
Selain itu menurut psikolog Noki Futagami, stigma terhadap pelaku Hikikomori membuat keadaan pelaku dan keluarga bertambah buru. (The stigma attached to the condition also seems to inhibit parents frpm asking for help, and school and social workers are reluctant to get involved in family matters. Unfortunately, the longer the child is isolated, the more difficult it becomes to step outside).
Mereka tidak dapat segera memperoleh pertolongan untuk keluar dari masalah Hikikomori karena takut apabila mencari bantuan keluar "rahasia" mereka akan terbongkar. Keenggannan mencari pertolongan ini membuat pelaku dan keluarga semakin terperosok ke dalam lingkaran setan, dimana perawatan dan kemungkinan untuk pulih menjadi semakin kecil. Dengan demikian bukan hanya pelaku yang terisolasi dan tidak bisa membuka diri, tetapi orangtua merekapun ikut malu dan menyembunyikan keadaan anak mereka yang sebenarnya (these outburst cause parents to keep the situation discreete). Sebab, apabila tetangga mengetahui ada pelaku Hikikomori yang berada di komunitas mereka, bisa saja mereka menolak kehadiran pelaku dan keluarganya tersebut karena khawatir bila suatu hari nanti terjadi kekerasan dan kejahatan yang berasal dari pelaku Hikikomoti tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stigma terhadap pelaku Hikikomori telah membawa pengaruh yang buruk dalam penanggulangan masalah Hikkomori bagi pelaku dan keluarga. Hal ini terjadi karena stigma terhadap hikikomori telah menghalangi orangtua untuk mencari pertolongan berkaitan dengan keadaan anaknya, sehingga pihak pemerintah, para ahli, maupun juga pekerja sosial tidak dapat berbuat semaksimal mungkin untuk mengembalikan pelaku isolasi ke masyarakat.
Solusi Masalah Hikikomori
Menanggapi berkembangnya stigma dan sikap negative dari public Jepang terhadap pelaku Hikikomori, pihak yang terkait dalam penanggulangan masalah Hikikomoro telah melakukan banyak studi untuk memperbaiki keadaan tersebut setelah banyak studi dilakukan, pada tahun 2001 lahirlah solusi baru dalam menangani masalah Hikikomori. Solusi ini adalah membuat sudut pandang baru yang lebih positif dalam menangani masalah Hikikomori. Solusi penanganan masalah social dengan cara mengeluarkan definisi, konsep, atau label positif dikenal sebagai solusi masalah social yang disarankan para sosiolog penganut perspektit labeling.
Dengan mengeluarkan definisi, konsep, atau label positif mengenai Hikikomori, diharapkan dapat mengarahkan sikap publik Jepang terhadap Hikikomori menjadi lebih positif dari sebelumnya. Sikap public Jepang yang lebih positif terhadap Hikikomori selanjutnya diharapkan dapat mendorong pelaku dan keluarga untuk tidak malu melaporkan keadaan mereka pada pihak-pihak yang dapat membantu mereka kembali ke masyarakat. Menurut ahli Hikikomori Noki Futagami label positif yang dibentuk pemerintah dan para ahli dengan sendirinya menjadi solusi dalam penanganan masalah Hikikomori di Jepang. Sudut pandang yang baru ini, oleh banyak pihak dinilai lebih toleran dalam menangani kasus Hikikomori maupun para pelakunya sehingga mampu membuat pelaku Hikikomori dan keluarganya membuka diri untuk memperoleh bantuan dari para ahli. Label positif terhadap Hikikomori dan para pelaku juga dinilai mampu memperbaiki pemahaman masyarakat Jepang serta meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap pelaku Hikikomori, dan selanjutnya dapat memotivasi pelaku untuk tidak malu melakukan konsultasi dan mendapatkan bantuan.
Pemerintah Jepang lewat Kementrian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan Jepang mengeluarkan definisi yang menjelaskan bahwa Hikikomori adalah orang-orang yang tidak suka bergaul dan bukannya orang-orang kejam atau kasar (most hikikomori are simply anti-social, not violent). Para ahli di Jepang juga turut mendukung pemerintah dengan mengeluarkan definisi yang menyatakan bahwa Hikikomori bukan sebuah penyakit kejiwaan tetapi adalah sebuah kata yang mengacu pada keadaan. Mereka juga mengatakan bahwa pelaku Hikikomori juga menginginkan interaksi dengan orang lain tetapi terlalu takun tuntuk keluar rumah. (According to experts, they define hikikomori as a condition rather than a disease. Sosially withdrawn people long for interaction but are too afraid to venture out) Mereka juga mengatakan bahwa seluruh pihak dalam masyarakat (baik pemerintah, agen social (para ahli, jurnalis, dll) maupun anggota masyarakat) harus bekerja sama untuk menanggulangi masalah Hikikomori (The hikikomori phenomenon as a social problem for which the whole community shoul bear responsibility). Penjelasan pemerintah dan para ahli tersebut menerangkan dengan singkat bahwa Hikikomori bukanlah perilaku menyimpang, gangguan, penyakit kejiwaan, atau perilaku yang erat kaitannya dengan kekerasan dan kejahatan, tetapi hanyalah kata yang mengacu pada perilaku anti social (tidak suka bergaul)
Setelah mengeluarkan label yang lebih positif terhadap pelaku Hikikomori, terjadi peningkatan dalam hal perhatian dan dukungan masyarakat Jepang untuk membantu pelaku Hikikomori dan keluarganya keluar dari perilaku penarikan diri. Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap masalah ini, maka muncul berbagai institusi-institusi yang serius dalam membantu pelaku Hikikomori untuk keluar dari penarikan diri.
Selain menimbulkan opini public yang lebih positif, definisi baru yang lebih toleran terhadap Hikikomori juga ikut mendatangkan pengaruh positif bagi para pelaku Hikikomori dan keluarganya. Sejak tahun 2002 banyak pelaku Hikikomori dan keluarganya yang mulai berani membukan diri dan berbicara mengenai masalah yang menimpa mereka, baik kepada psikiater, LSM, maupun kepada pihak-pihak lain yang berupaya menangani masalah Hikikomori di Jepang. Orangtua maupun pelaku Hikikomori yang sebelumnya menyembunyikan kasus mereka, kini mulai berani melaporkan kasus Hikikomori pada pihak atau instansi yang dirasa mampu memulihkan keadaan menjadi lebih baik. Keberanian pelaku untuk membuka diri dan mencari pertolongan ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan Jepang pada tahun 2002 dan penelitian yang dilakukan oleh Hiroko Okuma dari Oika Mental Health Welfare Center pada tahun 2002. Sebelum penelitian ini, tidak ada data statistik resmi mengenai pelaku Hikikomori. Dari penelitian yang dilakukan Kementrian tercatat ada 3.293 kasus Hikikomori yang dilaporkan, dan dari penelitianOkuma tercatat ada 211 kasus. Okuyama Group juga mencatat kemajuan dari pelaku Hikikomori dan keluarga dalam mencari pertolongan. NPO yang membantu keluarga pelaku Hikikomori ini pada waktu terbentuk pada tahun 1999, hanya beranggotakan 38 keluarga. Namun di tahun 2003, terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah keluarga yang mencari bantuan, yaitu hingga 5000 keluarga. Data-data diatas menunjukan pengaruh positif dari adanya label baru yang lebih toleran terhadap Hikikomori.
Keterbukaan pelaku Hikikomori akan masalah yang menimpa mereka juga terlihat dari maraknya obrolan didunia maya yang dilakukan pelaku Hikikomori. Para pelaku mulai berani untuk mengungkapkan keadaan mereka kepada orang lain dalam bentuk chatting di beberapa website. Sebuah obrolan bagi pelaku Hikikomori, Gogloom, mencatat rata-rata ada 14 pelaku Hikikomori yang melakukan obrolan tiap harinya dengan memakai fasilitas website ini. Dan berikut adalah sedikit contoh obrolan dari chatting para pelaku Hikikomori tersebut :
Dear All
I am a Hikkii looking to make contact with other Hikkii – Whether by email, BBS or whatever. I feel troublesome to open mouth and say something later. There is no serious reason! Ifeel just troublesome to talk, but finally “Shutting mouth”, such activity makes me dark mood, blue or tired feeling. I wonder some of Hikikomori would feel the same. At first they felt just trouble some to meet someone, and such attitude made them real hikki. There might be no mental issue or annoyance, But in the end, Hikki people need the reason to stay home, the some reason would be attached later… I don’t know, I just wondering like that.
Posted by : Mari | Friday, July 06, 2003 at 01:43 PM
Ne… anousa…
You are a hikikomori?
Funny, because my name is Hikky. But it didn’t represent hikikomori though. Hikky in my name represents Hikari, which means light. And surely, my parents must’ve thought of sumtin wen giving my name when I was a baby. Hikari. Hikky Hikikomori.
-.-‘’’
Irony?
O_o?
-.-‘’’
I’m also a hikikomori. I’ve been avoiding people for almost a year now. Lucky 4 me, I lived with my parents, and they supported my money, food, etc.
(what am I doing? Telling everything to a complete stranger? Aaaah!)
Why don’t they understand me? I’ve told my parents, I don’t want to see anyone. Not my friends, teachers or anyone at all. They said im being a “spoiled brat”, asking too much of ridiculous things.
The truth is, they don’t know that I become a hikikomori is from the result of their actions.
My dad never let me out and communicate with boys at all. In my lifetime, I had never stand near a boy for less than 2 metre distance.
He let me hang out with my friends thrice a year.
He forbids me from staying back after school with my friends.
And I followed exactly what he wants. Every single thing. And yet now he’s complaining that I’m stubborn and not listening to what he said.
This is exactly what he wants, right? He wants me to stay away from other people as often as possible.
Now, I’m just doing what he wants me to, becoming a hikikomori.
Who’s fault is it now?
Hikky. Hikikomori. That’s one thing.
Hikky. Hikari. That’s another thing.
Hikari – light. My dad calls me “the perfect daughter”, because I had never disobeyed any of his orders before. I had never hurt my friends, my teachers, and my parents feeling. And I’m the shoulder my friends would cry on when they have any problems.
The “light”among them all.
In Fact, I don’t have a shoulder to cry on.
Hikari. Hikikomori.
Now? Not just being a hikikomori, from a completely “A” student,
I’m evolved to a complete freak.
Before – Sweet, cheerful, nice, friendly.
Now – Cold, grumpy, quiet, antisocial.
I’ve had enough. Just enough.
-.-“’
Baka.
Yours sincerely,
Hikari
Posted by : Hikky. | at 04:16 PM
Obrolan diatas adalah obrolan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengakui telah melakukan Hikikomori, yaitu Mari danHikari. Mari mengaku seorang pelaku Hikikomori dan menginginkan kontak dengan pelaku Hikikomori yang lainnya. Marimengatakan bahwa alas an dirinya melakukan Hikikomori sangatlah sederhana, yaitu sulit untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain. Menurutnya sebagian besar pelaku Hikikomori mungkin merasakan hal yang sama. Mari juga mengatakan bahwa pada awalnya ia merasakan kesulitan setiap bertemu dengan orang lain, dan selanjutnya ia hanya berdiam di rumah saja. Ia juga mengatakan bahwa pelaku Hikikomori tidak menarik diri karena alas an penyakit kejiwaan. Menanggapi Mari, Hikari yang juga seorang Hikikomori mengaku alasannya melakukan Hikikomori disebabkan oleh ayahnya yang terlalu overprotective. Ia merasa ayahnya sangat menuntut drinya utnuk menjadi anak yang baik. TIdak boleh bergaul dengan anak laki-laki, pulang sekolah harus langsung pulang ke rumah, hanya boleh berkumpul dengan teman-teman dua kali dalam setahun, dan harus selalu mendengarkan apa yang ayahnya katakana. Hikari merasa dirinya harus selalu menjadi anak yang baik dan teman yang baik bagi teman-temannya. Namun pada kenyataannya, ia rendiri tidak memiliki tempat untuk mengadu baik disekolah maupun di rumah, ia merasa, tidak memiliki teman untuk berbagi rasa. (In fact, I don’t have a shoulder to cry on). Hal inilah yang selanjutnya mendorong Hikari untuk menarik diri dari lingkungannya.
Website NHK juga mencatat peningkatan keterbukaan para pelaku Hikikomori akan keinginan mereka. Melalui forum dalam website NHK, diketahui banyak pelaku Hikikomori yang berkeinginan untuk keluar dari masalah mereka, bahkan presentasenya naik hingga 90%.
Sementara itu, website Youtube juga menjadi saksi bagaimana pelaku Hikikomori mulai berani membicarakan keadaan dirinya di ruang public. Di youtube mulai banyak para pelaku Hikikomori yang merekam video mereka sendiri dan menceritakan permasalahan mereka, dan meng-unggahnya ke youtube.
Sumber : dari berbagai sumber terutama buat skripsi dari Mbak Ellis Puspitasari, FIB, UI, 2008 skripsinya sangant membantu sekali
ngeri :|
BalasHapus